Jumat, 19 September 2025. Sekretaris Prodi Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir Insititut Daarul Qur`an Jakarta, Jaka Ghianovan, M.Ag mengikuti program Maarif House dengan tema peluncuran dan diskusi buku yang berjudul “Mengamati Islam Indonesia Selama Setengah Abad (1971-2023). Kegiatan yang diselenggarakan oleh Maarif Insititute for Culture and Humanity di Menara Tanwir yang berada di kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah berlangsung sejak pukul 15.00 Wib. Progam ini dihadiri oleh sejumlah akademisi dan aktivis Islam di Indonesia. Buku yang diangkat dalam diskusi tersebut merupakan hasil karya dari Professor Emeritus Mitsuo Nakamura dari Chiba University, Indonesianis asal Jepang.
Acara diskusi ini menghadirkan pula beberapa pembicara selain dari penulis buku antara lain Prof. Taufik Abdullah selaku sejarawan ternama di Indonesia. Kemudian ada pula DR. Amanda Tho Seth dari Humboldt-Universitat zu Berlin, Dr. Ahmad Najib Burhani, MA sebagai Dirjen Sains-Teknologi Kemdikti-saintek RI, Prof. Yanwar Pribadi, PH.D dari Fauculty of Islamic Studies Universitas Islam Indonesia dan Andar Nubowo, PH.D selaku Direktur Eksekutif Maarif Insititute.
Direktur Eksekutif Maarif Institute dalam sambutan pembuka menjelaskan bahwa diskusi ini bertujuan untuk mengenalkan kembali penelitian yang dilakukan oleh Mitsuo Nakamura selama setengah abad, selain itu Nakamura yang dikenal sebagai peneliti Muhammadiyah ini telah malang melintang dalam melihat Islam Indonesia dengan kacamata ilmu sosial. Alumni Ecole Normale Superieur (ENS) Lyon, Prancis Paris ini juga menjelaskan bahwa Muhammadiyah dahulu pernah dicap sebagai kelompok Wahabi karena membawa misi puritanisme, namun hal tersebut tidak berlaku lagi pada masa kini karena ormas berlambang matahari tersebut lebih banyak bekerja dalam ranah sosial kemasyarakatan.
Sambutan berikutnya dari Dirjen Sains-Teknologi Kemdikti-saintek RI mengenalkan kepada peserta sedikit profil dari Mitsuo Nakamura. Menurut alumni dari Universitas California Santa Barbara ini juga menjelaskan sisi keunikan yang dimiliki oleh Nakamura. Najib menceritakan bahwa Nakamura lahir pada 19 Oktober 1933. Kemudian pernah belajar di Amerika hingga akhirnya tertarik meneliti Islam di Indonesia. Selain berbicara sisi akademis, sisi kehidupan Nakamura turut serta diceritakan hingga membuat suasana diskusi menjadi cair. Menurut Najib, Nakamura memiliki dua kepribadian yang dalam bahasa Jepang disebut dengan Hitozukuri yan berarti Excellent Self dan Monozukuri yang diartikan dengan Excellent Product. Mak dari hal tersebut menurut aktivis Muhammadiyah ini adalah Nakamura adalah seorang yang produktif baik sejak usia muda hingga senja ini, sehingga dengan integritas yang baik, Nakamura juga mampu menghasilkan karya terbaik yang dapat dibaca khalayak luas. Bahkan hingga hari tua pun Nakamura tetap dapat menjalani kehidupan normal seperti berolahraga, mengendarai mobil menuju kantor juga pasar. Bagi Najib hal ini sungguh luar bisa ketika melihat pria berusia 80-an pada beberapa tahun lalu masih dapat beraktivitas normal layaknya orang muda.
Puncak acara yakni penyampaian isi buku oleh penulis. Nakamura yang fasih berbahasa Indonesia selain Inggris dan Jepang ini menyatakan kekagumannya dengan Islam di Indonesia. Beliau menceritakan sedikit pengalaman ketika meneliti di negara zamrud Khatulistiwa. Berawal dari ketidaktahuan kemudian menjadi bersemangat dalam meneliti Indonesia. Berawal dari pertamuan dengan cendekiawan Indonesia Professor Selo Soemardjan yang membahas mengenai perubahan fenomena sosial di Yogyakarta, menjadikan rasa keingintahuan akan Indonesia meningkat. Pria kelahiran Manchuria ini memulai penelitiannya di kawasan Kotagede, Yogyakarta pada 1971. alasan memilih tempat ini pun karena selain pusat kerajian perak, tempat ini pun dikenal sebagai basis Muhammadiyah di wilayah kota gudeg. Bahkan Nakamura pun menjelaskan ketika itu perekonomian masyarakat Kotagede termasuk berpenghasilan rendah. Bahkan penghasilannya pun ketika itu hanya 19 sen. Akan tetapi, penghasilan yang kurang bukan berarti alasan untuk tidak menempuh pendidikan. Nakamura menceritakan banyak dari orang tua di wilayah tersebut yang menabung untuk biaya menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Ketika Nakamura menanyakan alasannya kepada responden, salah satu alasan yang memantapkannya untuk melanjutkan penelitian di Kotagede karena adanya paham bahwa jika seseorang yakni akan Allah, maka usaha tidak akan sia-sia.
Nakamura juga menceritakan bahwa dalam rentang waktu setengah abad, selain meneliti Muhammadiyah, ia pun meneliti organisasi keagamaan lain seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). perubahan zaman yang begitu dinamis menjadikan Muslim Indonesia bergerak secara dinamis dengan mengikuti perkembangan zaman. Sehingga dalam penelitiannya ini, Mitsuo pun mengkritik pola pandang Indonesianis lain yang sering mengutip pendapat Clifford Geertz. Pandangan Geertz yang membagi Muslim di Indonesia menjadi Priyayi, Abangan dan Santri sudah tidak relevan lagi karena ekspresi keberagamaan kaum Muslim Indonesia kini lebih beragam dibanding zaman sebelumnya. Bagi Nakamura ketika meneliti tentang gerakan Islam gunakanlah sudut pandang ilmu sosial untuk memahami gerak langkah termasuk dalam hal ini Muhammadiyah.
Tanggapan mengenai buku ini pun datang dari Taufik Abdullah. Sejarawan asal Bukittinggi ini pun menyampaiakan apresiasinya terhadap karya Nakamura dengan gaya yang jenaka. Kemudian dari Amanda Tho Seth yang menjelaskan ketika seorang Non Indonesia juga Non Muslim yang akan meneliti Islam di Indonesia. Perempuan asal Jerman ini mengajukan pertanyaan yang pribadi mengenai kepantasan outsider meneliti Islam dan Indonesia, terlebih lagi ada dua perbedaan sudut pandang antara peneliti barat dan timur. Sehingga dengan pertanyaan ini harus menjadikan peneliti luar yang akan meneliti Indonesia lebih bijak dalam melihat objek penelitian. Terakhir dari Yanwar Pribadi yang menguatkan pendapat Nakamura mengenai keunikan Islam di Indonesia berupa sifat dinamis dalam menghadapi zaman. Selain itu kritik terhadap Geertz yang selalu dipuja oleh peneliti asing juga Indonesia sendiri hingga menghasilkan penjajahan epistemologis. Dengan keberadaan buku baru karya Nakamura ini Yanwar juga menyampaikan apresiasi positifnya agar dapat melihat kembali sejarah gerakan Islam di Indonesia yang dinamis
Acara berakhir pada pukul 18.40 WIB kemudian dilanjutkan dengan foto bersama. Jaka pun tidak menyia-nyiakan kesempatan lalu mencoba mendekati Nakamura untuk meminta tanda tangan darinya. Sekprodi IAT IDAQU Jakarta ini sempat berkomunikasi dengan Nakamura meski tidak banyak karena antrean yang begitu banyak. Namun, Jaka pun merasa bangga bertemu dengan tokoh besar ini. Semoga Nakamura tetap sehat selalu. Wallahu A’lam.

